Berencana mau liburan ke BALI atau pesan paket tour package, hotel , transpot ,meeting room , arival airport , travel ducument , event organizer dll hub kami.. di TLP:08993161288. pin BB:25e40a7b . Email: ostabali@gmail.com





ShoutMix chat widget
Cara Buat Buku Tamu disini

widget by Klinik-it
Welcome Myspace Comments

Rabu, 03 Agustus 2011

Pemilukada Pembawa Maut

Artikel Anyar yang Berhubungan



Pemilukada Pembawa Maut

SALAH satu pilar demokrasi di Indonesia adalah partai politik. Namun partai politik bisa menjadi pemicu pertikaian. Itu bisa terjadi bila manajemen dalam tubuh partai tidak dikelola dengan baik.

Lihat saja bagaimana warga di Kampung Kimak, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, saling bunuh pada 30 dan 31 Juli 2011. Akibatnya 19 orang merenggang nyawa. Padahal, Pemilukada belum dilangsungkan.

Peristiwa hilangnya 19 nyawa berawal ketika dua pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati mendaftarkan diri. Menariknya, kedua pasangan tersebut membawa surat rekomendasi sama yakni dari Partai Gerindra.

Pasangan Elvis Tabuni dan Yosia Tembak mendaftar ke KPU Puncak dengan modal rekomendasi DPC Gerindra Puncak pada 26 Juli 2011. Empat hari berselang pasangan Simon Alom dan Heri Kosnai juga mendaftarkan diri dengan bekal surat rekomendasi dari DPP Gerindra.

Meski strata surat rekomendasinya lebih tinggi, KPU Puncak menolak pendaftaran Simon-Heri. Alasan yang disampaikan KPU Puncak adalah Partai Gerindra sudah memberikan rekomendasi untuk Elvis-Yosia.

Kejadian ini membuat kita bertanya, sejauh mana fungsi partai politik dan KPU saat Pemilukada berlangsung. Apakah partai dan KPU menjadi lingkaran setan saat pemilukada akan digulirkan? Yang jelas, kejadian tragis di Puncak menjadi tanggung jawab partai politik dan KPU setempat.

Harusnya, Partai Gerindra sudah memastikan kepada semua kader terkait tokoh yang bakal diusung pada pemilukada. Sehingga, mendaftarnya dua pasangan di satu pemilukada tak perlu terjadi.

Buruknya pengelolaan konflik internal partai diperparah dengan kebijakan KPU yang terkesan tanpa kompromi. Untuk menghindari konflik, KPU jangan langsung menolak pendaftaran Simon-Heri, namun tetap melalui verifikasi terlebih dahulu.

Selama ini, konflik pemilukada kerap terjadi terutama saat memilih bupati. Massa setiap pasangan calon kerap bertikai demi mendukung jagoannya. Padahal tidak semua massa pasangan calon murni memberikan dukungan. Mereka kebanyakan massa bayaran yang sengaja disewa di beberapa momentum pemilukada.

Tragisnya, pasangan calon dan partai pengusung terkesan membiarkan tingkah brutal para massanya saat di posisi yang rugi. Wajar saja karena ongkos politik yang sudah dikeluarkan cukup besar. Bila gagal, sulit mencari sumber yang bisa menutupi kocek besar untuk menjadi kepala daerah.

Pelaksanaan Pimilukada sudah berlangsung setidaknya enam tahun di negeri ini. Secara fakta, tampak tidak ada manfaatnya bagi demokrasi bangsa ini. Pimilukada sepertinya lebih menonjolkan kekuatan uang dan kekuatanm fisik. Artinya, dana yang dikeluarkan bagi pasangan calon cukup fantastis namun tidak memberi pendidikan bagi masyarakat.

Apakah sebaiknya pemilihan kepada daerah diserahkan kapada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing wilayah. Atau Gubernur yang memiliki hak menunjuk bupati dan wali kota di daerahnya. Pola ini sudah pasti menghemat anggaran negara dan tidak melahirkan pertikaian antar-massa.

Pemilukada seperti itu memang melanggar agenda reformasi. Tapi bila bisa memberikan keuntungan bagi negara dan masyarakat, mengapa tidak dicoba? Perlu evaluasi mendalam dan super matang untuk mengubah pola pemilihan kepala daerah seperti zaman orde baru.

Tidak ada komentar:

 
Letakkan kode iklan disini